21 August 2008

Seri Pacaran: 2. The Battle of the Egos

Dulu waktu saya kuliah (dan ini sudah lama sekali), saya punya pacar. Kami saling mencintai tetapi waktu itu saya tidak tahu mengapa kami tidak bahagia. Hal ini lama sekali menjadi pertanyaan saya karena menurut saya logikanya adalah: Dua orang yang saling membenci akan menderita sementara dua hati yang mencintai akan bahagia. Begitu keyakinan saya waktu itu. Cukup lama saya pacaran dengan dia. Beberapa kali putus tetapi selalu nyambung lagi karena kami berdua memang tidak ingin berpisah. Kami hanya tidak tahan dengan pertengkaran yang terlalu sering terjadi hingga menguras energi kami.



Akhirnya kami berpisah juga tetapi sejak saat itu saya seperti terobsesi untuk membuka misteri ini: how to have a happy love relationship. Buat saya ini memang misteri. Ketika menyebut kata “cinta” seharusnya pikiran kita secara otomatis menghubungkannya dengan kata: indah, berbagi, bahagia, fun, kebersamaan, aman, memberi, menerima (bukan mengambil), senyum, hangat, diterima, dilindungi, dihibur, damai, sejuk, rindu, dan sebagainya. Sementara tidak demikian dengan saya waktu itu. Kata ini lebih sering terhubung dengan jengkel, cemburu, marah, egois, terkekang, salah, stress, pusing, ngga ngerti, ngatur, bingung, sebel, kecewa, nangis, sakit hati, sedih, hancur, tidak punya perasaan, dsb. (“Cape deeh....” kata anak kedua saya. Emang!) Pikiran saya selalu mengatakan, “There must be something wrong somewhere.”
Selidik punya selidik (nyelidikinnya juga lama lho) akhirnya saya temukan, ternyata ada sesuatu yang menghambat kita dalam memberi dan menerima cinta. Sesuatu itu namanya Ego. Ego yang adalah pelayan kita, merupakan bagian dari pikiran yang fungsinya untuk mempertahankan gambar diri kita. Cara kerjanya seperti survival instinctnya binatang, jika terancam akan menyerang untuk mempertahankan hidup. Tentu saja concern ego bukan mengenai kelangsungan hidup fisik tetapi kelangsungan kehidupan yang mempengaruhi gambar diri tuannya.

Arti hidup
Mari kita berfilsafat sejenak. Kita merasa hidup jika kita memiliki arti. Seorang nenek, tetangga di kampung halaman, baru-baru ini bunuh diri karena cucu kesayangannya diambil oleh orangtuanya dan tidak boleh diasuh oleh neneknya lagi. Nenek ini bukan satu-satunya yang melakukan hal ini. Banyak orang merasa tidak ada gunanya lagi hidup karena tidak menemukan arti dalam hidupnya. Untuk bisa terus merasa berarti manusia membutuhkan objek untuk mencurahkan perhatiannya. Obyek ini bisa berupa pekerjaan, hubungan seperti keluarga, pacar atau persahabatan, lingkungan, gereja atau organisasi tertentu, dsb. Tugas Ego adalah untuk mempertahankan peran orang tersebut di tempat yang telah dipilihnya. Semakin kuat posisi seseorang dalam hubungan yang dipilihnya, semakin aman egonya sehingga ia tidak mudah terancam.

Ego the Servant

Sebetulnya tugas Ego lumayan berat. Ia sangat sadar akan hukum yang berlaku di kehidupan jasmani ini yaitu; the survival of the fittest (yang kuat yang menang). The fittest disini tentunya juga termasuk the prettiest, the richest, the highest, the most competent, the smartest, dsb. Mengingat manusia di bumi ini banyak sekali, Ego sadar bahwa ia tidak bisa menjadi the fittest selamanya karenanya ia jadi sangat mudah khawatir dan panik. Setiap saat, setiap waktu seseorang bisa mengambil posisinya.

Sebagai pelayan, Ego adalah hamba yang sangat rajin. Ia cepat sekali meresponi apa yang tuannya lihat dan dengar. Mari kita lihat contoh cara ego bekerja. Akhir-akhir ini Wulan, sering mendengar pacarnya, Donny memuji Ajeng, teman kantornya. Ego Wulan mengartikan pujian tersebut sebagai tanda bahwa Wulan bukan lagi Donny’s best girlfriend. Ego terancam. Iapun mengirim tanda bahaya ke otak supaya otak mengambil tindakan. Contoh lain, sudah seminggu ini Donar tidak pernah menelpon Santy padahal biasanya paling rajin. Ego Santy terancam, mengartikan hal ini sebagai tanda bahwa Santy sudah bukan orang terpenting lagi dalam kehidupan Donar. Tanda bahaya dikirim ke pikiran.

Begitulah yang dilakukan Ego setiap kali merasa terancam ia akan mengirim sinyal bahaya ke otak. Otak kita memiliki program untuk mengahadapi bahaya, baik itu program bawaan yang sudah tertanam di dalam tubuh kita sejak dalam kandungan, seperti survival insting, atau yang kita pelajari dalam kehidupan ini. Tugas kita, sebagai tuan atas ego, adalah untuk tenang sehingga bisa meresponi tanda bahaya tersebut dengan bijaksana. Jika kita tempatkan ego pada posisinya maka ia akan sangat membantu kita. Tetapi jika kita biarkan ego menguasai pikiran kita maka ia bisa merusak seluruh kehidupan kita karena bagi Ego semua manusia di bumi ini adalah saingannya. Jadi baginya mereka adalah musuh yang berbahaya.

Ego and Unhappy Love Relationship

Terus apa hubungannya antara ego dengan unhappy love relationship? Dalam sebuah hubungan pastilah banyak terdapat perbedaan – perbedaan pendapat, perbedaan prisip, kemauan, sifat, kebiasaan, status sosial, latar belakang pendidikan, dll. Sesuai dengan tugasnya untuk menjaga gambar diri tuannya sebagai the best, sikap ego dalam menanggapi perbedaan adalah, dia harus menang : pendapatnya harus didahulukan, orang lain yang harus berubah, yang harus mengerti, yang harus menyesuaikan, yang harus mengalah dsb. Jadi pacaran tidak berfungsi sebagai ajang pengekspresian kasih tetapi lebih menjadi medan perang – siapa mengalahkan siapa, siapa menguasai siapa.

Tidak heran saya dulu tidak bahagia dengan pacar saya. Ketika saya lihat ke belakang, ternyata kami dulu memang masih dalam penjajahan si Ego. Saya bilang penjajahan karena sebetulnya Ego itu kan pelayan kita tapi saya biarkan ia mengatur saya.

Jadi bagaimana supaya pikiran kita tidak dikendalikan Ego?
Salah satu trik ego supaya kita tidak berubah adalah dengan mengatakan, “Memang sifat saya begini.” Tidak mau berubah itu memang sifatnya Ego. Karena Ego merasa aman di area yang dia ketahui. Berubah artinya masuk ke area yang baru dan ini sangat menakutkan bagi Ego karena dia tidak tahu medan perang.

Supaya tidak mudah dikuasai Ego, kita harus membawa pikiran kita ke tujuan yang lebih tinggi daripada kelangsungan hidup di bumi ini. Kita harus terus menerus belajar untuk meyakini bahwa apapun yang dikhawatirkan oleh Ego telah dijawab semuanya oleh Yesus, juru selamat kita.

To win or to be happy?

Pada suatu hari saya dan Stephen terlibat pertengkaran hebat dan ia memenangkan pertarungan tersebut. Ia puas sementara saya masuk ke kamar sakit hati. Tapi tidak lama kemudian ia datang meminta maaf, katanya, “I won but now I feel very lonely. Please, don’t be sad, darling. You were not wrong, I was.” Dr. Phil McGraw, seorang psikolog terkenal dari Amerika menanyakan, “Mana yang anda lebih suka: menang atau bahagia?” Pertanyaan ini cocok sekali menggambarkan apa yang Stephen rasakan waktu itu. Ia bisa menang atas saya istrinya tapi hubungan kami jadi renggang dan itu menyiksanya. Akhirnya ia memutuskan bahwa siapa yang salah dan siapa yang benar bukan hal yang penting lagi. Ia memilih untuk mengasihi istrinya dan bahagia. Ia telah menang atas egonya.

Yang perlu kita taklukkan bukanlah pasangan kita melainkan ego kita masing-masing. Saya percaya kasih itu indah. Jadi jangan biarkan ego menghancurkan keindahannya. (A&S)

No comments: