Tetapi semakin dekat dengan hari H, semakin saya meragukan keputusan saya. Bagaimana seandainya dia bukan soulmate saya? Bisakah kami menjunjung tinggi ikatan suci ini dan tidak melepasnya di tengah jalan? Kuatkah saya nantinya menghadapi pencobaan-pencobaan dalam rumah tangga kami?
Saya rasa kekhawatiran saya ini beralasan. Selama tiga tahun pacaran kami sering sekali bertengkar. Kalau sedang rukun, kami kelihatan mesra sekali. Teman-teman banyak yang iri dengan kedekatan kami. Tetapi kalau sedang bertengkar, kami sudah seperti kucing dengan anjing. Masing-masing tidak mau mengalah. Terus terang sebetulnya saya mulai tidak tahan dengan kebiasaan-kebiasaannya yang menyakiti hati saya. Pacar saya sering menggunakan kata-kata kasar dan merendahkan yang membuat saya tidak terima. Meskipun akhirnya saya maafkan, tiap kali ingat kejadian itu hati saya masih sakit.
Diatas adalah kutipan bagian email dari seorang teman. Meskipun kami sudah membahasnya lewat telephone, dia meminta saya menuliskan hasil pembicaraan kami di blog ini supaya bisa memberkati teman-teman yang memiliki masalah yang sama.
Bertengkar bisa dijadikan hal yang positif
Saya adalah orang yang tidak akan menganjurkan untuk anti pacaran karena menurut saya pacaran adalah suatu fase yang sangat penting dan dibutuhkan sebelum sepasang manusia memutuskan untuk menikah.
Didalam pacaran pasangan bisa belajar banyak hal seperti misalnya bagaimana mengungkapkan ide maupun perasaan, baik yang positif maupun negatif. Bagaimana mengatakan kalau kita tidak setuju atau memiliki pendapat yang beda dengan pendapat pasangan kita, bagaimana membuat pasangan kita mengerti mengapa kita marah, cemburu, sakit hati, dsb, tanpa harus dengan sengaja menyakiti hatinya. Bagaimana memberitahu pasangan bahwa menggunakan kata-kata kasar, kotor dan merendahkan adalah pertanda bahwa dia tidak menghormati dirinya sendiri, karenanya dia juga tidak bisa menghormati orang lain. Ini semua adalah hal-hal yang perlu kita pelajari karena dalam kehidupan perkawinan nanti kita akan sering menghadapi hal-hal seperti ini.
Pertengkaran yang hebat dan berulang-ulang (dengan masalah yang sama) merupakan tanda bahwa keduanya belum menangkap esensi dari perkataan pasangannya. Meskipun mudah untuk mengatakan, “Say what you mean, mean what you say,” (katakan apa yang kau maksudkan dan maksudkan apa yang kau katakan), tidak semua orang bisa melakukannya. John Gray dalam bukunya yang terkenal Men Are from Mars, Women Are from Venus menggambarkan dengan jelas betapa komunikasi antara laki-laki dan perempuan itu bukan sesuatu yang secara otomatis dikuasai. Kesalah-pahaman dan frustrasi adalah hal yang biasa dan sama sekali tidak berarti bahwa pasangan tersebut tidak lagi saling mencintai.
Dari sini bisa dilihat bahwa pertengkaran juga merupakan pertanda kurangnya kemampuan berkomunikasi yang efektif. Survey membuktikan, lack of communication skill sebagai salah satu penyebab terbesar retaknya hubungan. Banyak orang memilih untuk diam dan melupakan daripada membicarakan masalah dalam hubungan dengan pasangan mereka. To forgive and forget mereka artikan sebagai, “Ya sudahlah, ga usah diperpanjang.”
Padahal kenyataannya, sebetulnya mereka belum memaafkan tetapi hanya menekan reaksi mereka yang sebenarnya. Seperti orang yang menekan bola di dalam air, semakin besar bola itu semakin besar pula tenaga yang dibutuhkan untuk membuat bola tsb tetap di dalam air. Jadi, semakin sering seseorang menekan reaksi mereka yang sebenarnya, semakin berat usaha yang diperlukannya. Suatu ketika ia akan mencapai batas kekuatannya, dan jika masalah tersebut diungkit lagi, emosinyapun akan meledak. "Sudah di-diem-in kok ga ngerti juga," begitu biasanya kata mereka. Tetapi percayalah, justru karena mereka diam, pasangan mereka tidak tahu perasaan mereka yang sebenarnya.
Waktu kuliah dulu, saya sering dicap sebagai "pengikut aliran kebatinan" kalau sudah menyangkut pacaran. “Cuma kamu sama Tuhan yang tahu pikiran sama perasaan kamu. Tunjukin dong ke cowok kamu supaya dia ngga perlu nebak-nebak. Emangnya dia dukun?” Tadinya saya tidak setuju dengan pendapat teman-teman saya tetapi mata saya terbuka ketika cowok saya memutuskan hubungan dengan alasan, “Capek gue pacaran sama dia. Gue ga pernah tau sebetulnya maunya dia tu apa.”
Saya sangat terpukul dengan keputusan pacar saya. Apalagi belakangan saya dengar dari teman-temannya bahwa sebetulnya dia itu sayang sekali sama saya. Waktu itu saya tidak dapat mengerti, bagaimana mungkin orang yang katanya mencintai kok malah memutuskan hubungan. Tetapi sekarang, setelah saya mengerti pentingnya komunikasi yang efektif dan belajar mempraktekkannya, saya bisa melihat betapa menyebalkannya reaksi-reaksi saya pada waktu itu. Tidak heran kalau pacar saya akhirnya kecapaian menghadapi saya.
Belajar komunikasi yang efektif
Perkataan teman saya akhirnya saya jadikan pegangan. Kita memang bukan dukun yang dengan sendirinya bisa membaca pikiran dan perasaan orang lain (Saya rasa dukunpun tidak bisa melakukan ini. Mereka hanya menyimpulkannya dari hint-hint yang tanpa sadar diberikan oleh orang tsb saat dia mengungkapkan masalahnya.) Karena itu saya melihat pentingnya untuk belajar berkomunikasi secara efektif.
Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat. (Mat. 5:33)
Ini adalah sesuatu yang simpel tetapi awalnya susah dilakukan. Bersikap jujur dan terbuka adalah keinginan semua orang normal tetapi tidak semua orang bisa melakukannya. Ada beberapa penyebab mengapa seseorang tidak bisa berkata jujur, antara lain:
Takut menghadapi reaksi orang terhadap kejujurannya. “Saya takut dia marah”, “Aku ga mau nyakitin dia,” dan "Nanti dia tersinggung," adalah alasan yang sering dipakai orang untuk menghindari mengatakan apa adanya. Padahal kebohongan yang dilakukan oleh kekasih itu sesuatu yang sangat menyakitkan. Jadi jika baik kejujuran maupun kebohongan itu menyakitkan, mengapa tidak lebih baik jujur saja? Sekali lagi, saya sadar lebih mudah mengatakan daripada melakukannya. Karena itu kita perlu belajar dan terus belajar. Akan sangat membantu jika kita memiliki pasangan yang mau berkomitmen untuk sama-sama belajar. Dengan komitmen ini kita bisa sepakat, “Sehebat apapun kita bertengkar, kita tidak akan putus.”
Lack of problem solving skill juga menjadi penyebab mengapa orang susah untuk terbuka dan jujur. Kejujuran itu memang sering menyakitkan tetapi kalau kita bisa mengesampingkan dulu rasa sakit ini dan belajar meyakini bahwa segala sesuatu bisa terjadi di dunia ini hanya atas seijin Tuhan, kitapun bisa melihat persoalan dengan lebih bijaksana. Kadang emosi kitalah yang membuat masalah itu kelihatan jauh lebih besar dari yang sebenarnya. Dan ketika kita pikir masalah itu sangat besar, kitapun merasa tidak mampu mengatasinya.
Jika anda dan pasangan anda sering bertengkar, bersepakatlah untuk mengedepankan kasih. Saya tahu ini tidak gampang karena itu perlu dilatih. Kasih memang tidak meniadakan masalah tetapi kasih membuat mata kita jernih sehingga dapat melihat persoalan sebagaimana adanya, tanpa diwarnai oleh tuduhan-tuduhan, kecurigaan, keinginan untuk menimpakan kesalahan kepada orang lain dan membenarkan diri sendiri. Kasih bisa membuat dua hati yang panas tetap mampu untuk berpegangan tangan dan berkata, “Tuhan, kami marah. Tetapi kami tetap saling mengasihi. Ajar kami untuk memecahkan masalah ini.”
Belajar Mengampuni
Pacaran yang sukses bukanlah pacaran yang tanpa masalah. Justru kemampuan kita dalam memecahkan masalah dalam pacaran merupakan modal untuk memecahkan masalah dalam kehidupan perkawinan kelak. Saya anjurkan untuk tidak terburu-buru mengatakan saya sudah memaafkan sebelum anda benar-benar membicarakan masalah tersebut sampai tuntas. Ini untuk menghindari tumpukan emosi negatif yang akan merusak hubungan anda di kemudian hari.
Kasih itu indah. Jangan sampai keindahan itu tersembunyi karena hati yang tidak mengampuni. (A&S)
No comments:
Post a Comment