Pertanyaan ini mengingatkan saya akan pengalaman ketika berpacaran dengan seseorang yang memiliki kebiasaan demikian. Awalnya saya tidak keberatan, bahkan sayapun ikut memuji orang yang dipujinya. Tetapi karena saya perhatikan dia jarang memuji saya, lama kelamaan saya jadi berpikir, “Apa dia sedang membanding-bandingkan saya dengan orang itu?”, “Tidak adakah sesuatu dalam diri saya untuk dikagumi sehingga dia harus memuji orang lain yang bukan apa-apanya?”, “Apa sih maksudnya? Apa dia ingin aku seperti orang itu?” dsb.
Singkat cerita, saya akhirnya jadi tidak suka dengan kebiasaan pacar saya tersebut. Bukan hanya itu, saya tersinggung dan bisa sangat marah jika setelah saya tegur dia tetap melakukannya. Ternyata bukannya menyadari bahwa ia telah menyakiti hati saya, pacar sayapun malah gantian marah. Menurutnya saya terlalu cemburuan, tidak bisa membiarkannya bebas mengagumi keindahan Tuhan dalam diri orang lain, katanya.
Pengalaman itu membuat saya merenung dan terus mencari cara untuk membuat hati saya tidak mudah tersakiti ketika pacar memuji orang lain di depan saya. Bukan karena saya begitu mencintai pacar saya pada waktu itu, melainkan karena saya tidak mau perasaan saya disetir oleh orang lain. Kalau memang dia tidak mau memperhatikan apa yang saya rasakan, saya mau. Saya peduli dengan perasaan saya dan saya merasa perlu untuk menjaganya. Saya percaya bahwa jika pertahanan hati kita kuat, perasaan kita tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh orang lain.
Jadi menurut saya, tidak penting bagi kita untuk mengetahui alasan pacar suka memuji orang lain di depan kekasihnya. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana supaya sebagai kekasih, telinga dan hati kita tidak panas ketika mendengar kata-kata indah meluncur dari mulut pasangan kita untuk orang lain.
Penyebab sakit hati mendengar orang lain dipuji
Kurang mendapatkan pujian
Pengalaman itu membuat saya merenung dan terus mencari cara untuk membuat hati saya tidak mudah tersakiti ketika pacar memuji orang lain di depan saya. Bukan karena saya begitu mencintai pacar saya pada waktu itu, melainkan karena saya tidak mau perasaan saya disetir oleh orang lain. Kalau memang dia tidak mau memperhatikan apa yang saya rasakan, saya mau. Saya peduli dengan perasaan saya dan saya merasa perlu untuk menjaganya. Saya percaya bahwa jika pertahanan hati kita kuat, perasaan kita tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh orang lain.
Jadi menurut saya, tidak penting bagi kita untuk mengetahui alasan pacar suka memuji orang lain di depan kekasihnya. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana supaya sebagai kekasih, telinga dan hati kita tidak panas ketika mendengar kata-kata indah meluncur dari mulut pasangan kita untuk orang lain.
Penyebab sakit hati mendengar orang lain dipuji
Kurang mendapatkan pujian
Banyak orang tidak memahami pentingnya sebuah pujian sehingga sering mereka tidak memandang perlu untuk melakukannya, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Ketika saya mengatakan kepada pacar bahwa saya juga perlu pujian, dia malah mentertawakan saya. “Nanti kamu sombong kalau sering kupuji, “katanya. Ketika saya mendesak, dia mengatakan, “Kalau aku tidak mengatakan apa-apa, artinya semuanya baik-baik saja. Kalau ada yang salah pasti aku kasih tau.”
Pacar saya ini (untung dia tidak menjadi suami saya) tidak tahu bahwa banyak orang merasakan bahwa pujian tulus yang keluar dari mulut orang yang dikasihi itu laksana siraman air yang menyegarkan hati dan pikiran, yang membuat hari terasa lebih indah dan hidup lebih bergairah. Untuk beberapa kasus, pujian bahkan bisa menyelamatkan hidup seseorang.
Ini kisah nyata. Seorang remaja SMA, sebut saja Robert, memutuskan untuk bunuh diri karena merasa hidupnya sudah tidak ada gunanya. Rencananya ia akan melakukannya sepulang sekolah. Hari itu pelajaran terakhir adalah pelajaran bahasa dan murid-murid ditugaskan untuk membuat sebuah karangan bebas. Ketika Robert mengumpulkan tugasnya, ibu guru menyempatkan diri untuk membacanya dan sangat menyukai tulisan Robert. “Karangan kamu bagus sekali, “katanya sambil memandang Robert dan tersenyum.
Pujian serta senyum tulus ibu guru itu sangat menyentuh perasaan Robert dan pada saat itu juga dia merasa menemukan kembali gairah hidupnya. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.
Pujian memang sangat penting. Sayangnya, tidak semua orang sadar akan hal ini. Karena tidak bisa mendapatkan pujian dari pacar, waktu itu saya mengembangkan kebiasaan memuji diri sendiri. Setiap hari sebelum tidur saya menuliskan hal-hal yang bisa saya puji dari pemikiran, perasaan maupun perbuatan saya sepanjang hari itu. Misalnya, “Aku bangga sama kamu karena waktu berhadapan dengan si A tadi, kamu bisa mengendalikan emosimu dan tidak terpancing kata-katanya yang menyakitkan.” Atau, “Potongan rambutmu bagus. Cocok dengan kepribadian kamu,” atau, “Selamat, nilai ujian kamu bagus. Pertahankan ya!”
Ketika sering memberi pujian kepada diri sendiri, kitapun menjadi terbiasa untuk memuji orang lain juga. Akibatnya, orang lainpun mulai sering memuji kita. Bukankah ini hukum tabur-tuai?
Ego yang terancam
Penyebab lain yang membuat kita sakit hati mendengar orang lain dipuji adalah karena ego kita merasa terancam. Sesuai dengan tugasnya dalam menjaga gambar diri tuannya, Ego hanya akan merasa aman jika tuannya ada di tempat teratas. (Baca: “Ego the Servant” dalam The Battle of the Egos di blog ini.) Karena menurutnya jika orang lain lebih baik artinya tuannya lebih buruk. Dan itu berarti bahwa dia belum melakukan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Karena itu ketika mendengar bukan tuannya yang dipuji melainkan orang lain, egopun merasa terancam. Itu membuatnya takut. Ketakutan ini dapat kita rasakan sebagai rasa nyeri ulu hati yang kita sebut sebagai sakit hati. Orang yang masih didominasi oleh ego akan sering sekali mengalami rasa sakit yang seperti ini.
Ada tiga jurus andalan pertahanan diri ego menghadapi ancaman dari pujian yang ditujukan kepada orang lain:
a. Mencari kelemahan orang yang dipuji tsb dengan cara membandingkannya dengan tuannya di bidang yang menurut ego merupakan kelebihan tuannya. Tujuannya adalah untuk merendahkan orang yang dipuji tsb sehingga tuannya bisa tetap menempati posisi terbaik di mata pasangannya. Misalnya dengan mengatakan, “Dia tu cewek matre, tau. Liat aja gayanya.” Atau, “Cakep kalo bego buat apa?” “Yang kaya kan orangtuanya. Dianya bisa apa?” dsb.
b. Merendahkan kemampuan si pemuji dalam menilai seseorang. Dengan kata lain ego ingin mengatakan pada tuannya bahwa bukan tuannya yang tidak unggul tapi si pemuji itulah yang tidak punya selera.
Misalnya dengan mengatakan, “Cowok model alay (kampungan) gitu kamu bilang cakep?” atau, “Baru segitu udah kamu bilang kaya?” atau, “Baik? Cewek tukang ganti-ganti pacar itu kamu bilang baik?” dsb.
c. Menyerang gambar diri si pemuji
Misalnya dengan mengatakan, “Dasar laki-laki mata keranjang!”, atau, “Pacar satu emangnya masih kurang?” atau tidak mengatakan apa-apa tapi langsung memutuskan hubungan dengan alasan orang yang memuji orang lain dihadapannya tidak layak (tidak level) untuk dijadikan pacar.
Pacar saya ini (untung dia tidak menjadi suami saya) tidak tahu bahwa banyak orang merasakan bahwa pujian tulus yang keluar dari mulut orang yang dikasihi itu laksana siraman air yang menyegarkan hati dan pikiran, yang membuat hari terasa lebih indah dan hidup lebih bergairah. Untuk beberapa kasus, pujian bahkan bisa menyelamatkan hidup seseorang.
Ini kisah nyata. Seorang remaja SMA, sebut saja Robert, memutuskan untuk bunuh diri karena merasa hidupnya sudah tidak ada gunanya. Rencananya ia akan melakukannya sepulang sekolah. Hari itu pelajaran terakhir adalah pelajaran bahasa dan murid-murid ditugaskan untuk membuat sebuah karangan bebas. Ketika Robert mengumpulkan tugasnya, ibu guru menyempatkan diri untuk membacanya dan sangat menyukai tulisan Robert. “Karangan kamu bagus sekali, “katanya sambil memandang Robert dan tersenyum.
Pujian serta senyum tulus ibu guru itu sangat menyentuh perasaan Robert dan pada saat itu juga dia merasa menemukan kembali gairah hidupnya. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.
Pujian memang sangat penting. Sayangnya, tidak semua orang sadar akan hal ini. Karena tidak bisa mendapatkan pujian dari pacar, waktu itu saya mengembangkan kebiasaan memuji diri sendiri. Setiap hari sebelum tidur saya menuliskan hal-hal yang bisa saya puji dari pemikiran, perasaan maupun perbuatan saya sepanjang hari itu. Misalnya, “Aku bangga sama kamu karena waktu berhadapan dengan si A tadi, kamu bisa mengendalikan emosimu dan tidak terpancing kata-katanya yang menyakitkan.” Atau, “Potongan rambutmu bagus. Cocok dengan kepribadian kamu,” atau, “Selamat, nilai ujian kamu bagus. Pertahankan ya!”
Ketika sering memberi pujian kepada diri sendiri, kitapun menjadi terbiasa untuk memuji orang lain juga. Akibatnya, orang lainpun mulai sering memuji kita. Bukankah ini hukum tabur-tuai?
Ego yang terancam
Penyebab lain yang membuat kita sakit hati mendengar orang lain dipuji adalah karena ego kita merasa terancam. Sesuai dengan tugasnya dalam menjaga gambar diri tuannya, Ego hanya akan merasa aman jika tuannya ada di tempat teratas. (Baca: “Ego the Servant” dalam The Battle of the Egos di blog ini.) Karena menurutnya jika orang lain lebih baik artinya tuannya lebih buruk. Dan itu berarti bahwa dia belum melakukan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Karena itu ketika mendengar bukan tuannya yang dipuji melainkan orang lain, egopun merasa terancam. Itu membuatnya takut. Ketakutan ini dapat kita rasakan sebagai rasa nyeri ulu hati yang kita sebut sebagai sakit hati. Orang yang masih didominasi oleh ego akan sering sekali mengalami rasa sakit yang seperti ini.
Ada tiga jurus andalan pertahanan diri ego menghadapi ancaman dari pujian yang ditujukan kepada orang lain:
a. Mencari kelemahan orang yang dipuji tsb dengan cara membandingkannya dengan tuannya di bidang yang menurut ego merupakan kelebihan tuannya. Tujuannya adalah untuk merendahkan orang yang dipuji tsb sehingga tuannya bisa tetap menempati posisi terbaik di mata pasangannya. Misalnya dengan mengatakan, “Dia tu cewek matre, tau. Liat aja gayanya.” Atau, “Cakep kalo bego buat apa?” “Yang kaya kan orangtuanya. Dianya bisa apa?” dsb.
b. Merendahkan kemampuan si pemuji dalam menilai seseorang. Dengan kata lain ego ingin mengatakan pada tuannya bahwa bukan tuannya yang tidak unggul tapi si pemuji itulah yang tidak punya selera.
Misalnya dengan mengatakan, “Cowok model alay (kampungan) gitu kamu bilang cakep?” atau, “Baru segitu udah kamu bilang kaya?” atau, “Baik? Cewek tukang ganti-ganti pacar itu kamu bilang baik?” dsb.
c. Menyerang gambar diri si pemuji
Misalnya dengan mengatakan, “Dasar laki-laki mata keranjang!”, atau, “Pacar satu emangnya masih kurang?” atau tidak mengatakan apa-apa tapi langsung memutuskan hubungan dengan alasan orang yang memuji orang lain dihadapannya tidak layak (tidak level) untuk dijadikan pacar.
*
Jika setelah memakai taktik tsb ternyata ego tetap merasa terancam, iapun akan mulai meneriakkan keputus-asaanya. Dengan nada kalah (tapi sering masih berusaha kelihatan menang) ia akan mengatakan, "Aku memang tidak menarik..," "Aku memang tidak pintar..," "Aku memang bukan siapa-siapa..." dsb. Harapannya adalah supaya tuannya memaksa orang tsb untuk berhenti membandingkan-bandingkan, tanpa menyadari bahwa ego sendirilah yang melakukan hal itu.
Jika ketika mendengar orang lain dipuji anda mendapati suara-suara seperti diatas atau yang sejenis di benak anda, waspadalah, itu adalah suara ego. Jika ditanggapi dengan bijak, suara-suara tersebut akan memicu kita untuk lebih maju. Misalnya dengan mengembangkan diri sehingga tidak mudah merasa direndahkan. Tetapi jika kita bergabung dengan kekhawatiran ego dan merasa terancam, suara-suara tersebut akan membawa kita kepada perpecahan bahkan kehancuran.
Kepercayaan diri yang rendah
Kepercayaan diri yang rendah juga merupakan penyebab kita sulit menerima ketika orang lain dipuji di hadapan kita. Kepercayaan diri yang dibangun dari nilai-nilai ciptaan manusia seperti kecantikan, kepandaian, kekayaan, status sosial, pendidikan, dsb, adalah kepercayaan diri yang kelihatannya kuat tetapi sebetulnya sangat rapuh karena tidak ada satupun dari hal yang disebut diatas yang abadi.
Diatas langit masih ada langit, begitu orang menggambarkan rapuhnya nilai-nilai diatas. Orang yang mengandalkan kecantikannya, misalnya, akan mudah terancam rasa percaya dirinya ketika mendengar orang memuji kecantikan orang lain. Beberapa dokter bedah plastik yang mengkhususkan diri untuk melayani pasien yang ingin tampil lebih cantik mengakui bahwa rasa percaya diri yang didapat melalui bedah plastik biasanya tidak bertahan lama. Banyak pasien mereka yang setelah mereparasi satu bagian, kembali lagi untuk membenarkan bagian tubuhnya yang lain karena merasa kurang pede.
Cara paling mudah untuk memperoleh kepercayaan diri yang tidak tergoyahkan adalah dengan terus menerus membangun hubungan intim dengan Tuhan. Karena di dalam Dia, kekhawatiran ego tidak akan bisa menghancurkan kita. Karena nilai kita yang sebenarnya bukan ditentukan oleh dunia ini. Bapa yang sempurna telah memberi jaminan bahwa meskipun kita hina menurut pandangan dunia, Allah tetap bisa memakai kita untuk sesuatu yang mulia.
“Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah. (1Kor. 1:27-29)
Saya percaya, di dalam kasih tidak ada persaingan. Ketika seseorang dipuji, kasih menyambutnya dengan ucapan syukur, kekaguman, serta suka cita, karena sesungguhnya bukan orang itu yang layak menerima pujian tsb melainkan Dia yang telah menciptakannya. Karena itu saya tetap percaya bahwa kasih itu indah. (A&S)
No comments:
Post a Comment