29 June 2008

LOVE HURTS ATAU KASIH ITU INDAH?



Sejak kecil Rina sering melihat orang tuanya bertengkar. Tidak jarang pula Rina melihat papanya memukul mamanya. Mamanya hanya bisa menangis ketika hal itu terjadi. Rina sering membela mamanya jika dilihatnya papanya bertindak keterlaluan. Ia heran mengapa mamanya mau diperlakukan seperti itu. Menurut Rina suami istri seharusnya saling mengasihi dan bukan saling menyakiti.

Sekarang ini Rina merasa sudah cukup umur untuk menikah tetapi dia belum memiliki calon pendamping. Tiap kali ingin menjalin hubungan pikirannya selalu dihantui kekerasan yang dialami oleh mamanya. Ia takut mendapatkan suami seperti papanya. Akibatnya, tiap kali ada seorang laki-laki yang mendekatinya dan kelihatan serius, Rina cepat-cepat menjauh.
“Sebetulnya saya ingin sekali bisa mencintai tetapi saya takut,” katanya.

***

Banyak orang takut untuk memulai hubungan karena trauma dengan kata yang satu ini: cinta. Trauma ini bisa berasal dari pengalaman sendiri, pengalaman orang lain - kisah cinta yang tidak bahagia dari orang tua, saudara, teman, tetangga atau pengalaman sendiri. Untuk mengalihkan pikiran dan hati dari keinginan mencintai dan dicintai, banyak yang akhirnya menyibukkan diri dengan hal-hal lain seperti pekerjaan, pendidikan dan hobi misalnya, tanpa menyadari bahwa jam biologisnya terus berjalan seiring dengan bertambahnya umur.
Banyak juga yang nekad jalan terus tetapi pada dasarnya ngeri untuk jatuh cinta dan berkomitmen sehingga ketika merasa hubungan mulai mengarah serius ia cepat-cepat pergi mencari pasangan lain yang mau hanya untuk diajak iseng. Sayangnya sedikit orang yang mau berhenti pada fase iseng. Kebanyakan orang mengharapkan terjalinnya sebuah hubungan yang serius atau yang memiliki tujuan. Selama tidak merubah paradigmanya, si takut cinta ini akan terus menjadi petualang cinta. Seandainya ia menikahpun hatinya tidak akan bisa menetap dengan pasangannya karena pada dasarnya ia takut mencintai.
Atau ada juga yang berdoa meminta Tuhan mengirim jodoh tetapi diam-diam tanpa disadari selalu membentengi diri dan curiga kepada orang yang ingin mendekatinya, takut ia akan dibuat kecewa. Akibatnya, sebelum hubungan berlanjut serius, lebih baik ditolak saja.

Padahal, dari definisi katanya, cinta adalah sesuatu yang indah, yang bisa membuat hidup seseorang lebih bergairah, bermakna dan bahagia. Orang yang sedang jatuh cinta adalah orang yang murah senyum dan tidak gampang marah, menandakan hatinya sedang berbunga. Jadi bagaimana mungkin hal yang sangat indah dan positif ini bisa menyakiti seseorang? Cintakah yang salah?

“Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamupada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkauhidup, baik engkau maupun keturunanmu,” (Ulangan 30:19)


Kutipan ayat diatas jelas sekali membedakan antara jalan kematian dan kehidupan, berkat dan kutuk; dan Tuhan menganjurkan kita memilih kehidupan. Artinya, Tuhan ingin kita selamat dan bahagia. Kembali kepada judul diatas, “Love hurts atau Kasih itu indah?” Yang manakah yang kita pilih? Saya anjurkan anda memilih “Kasih itu indah” karena kasih yang seperti ini akan memberi anda kehidupan. Tetapi ini berarti bahwa anda harus siap untuk membuang semua argumentasi anda yang mengatakan bahwa cinta itu menyakitkan karena saya akan membuktikan kepada anda bahwa cinta yang bisa menyakiti itu sebenarnya bukan cinta.

Kasih adalah Bahasa Jiwa

Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. (1 Korintus 13:1)


Kasih adalah satu-satunya unsur yang membuat perkataan memiliki arti bagi jiwa. Segala perkataan yang diucapkan tidak disertai kasih ditangkap jiwa sebagai sekedar bunyi-bunyi tanpa makna.

Pada suatu hari saya pernah bertengkar hebat dengan suami, masing-masing mengajukan argumentasi untuk mengukuhkan bahwa pendapatnyalah yang lebih benar. Tidak ada yang mau mengalah. Pertengkaran semakin memuncak sampai saya hampir tidak bisa menguasai emosi. Takut berakibat fatal, sayapun akhirnya memilih diam yang kemudian diikuti oleh suami. Untuk meredakan emosi saya masuk ke kamar, mengadu kepada Roh Kudus dan meminta Dia membela perkara saya. Saya berdoa sambil menangis karena sakit hati. Tidak tahu berapa lama saya “curhat” dengan Roh Kudus, tiba-tiba mata rohani saya melihat putaran ulang pertengkaran saya dengan suami tetapi kali ini bukan kata-kata yang keluar dari mulut saya melainkan huruf-huruf seperti mainan yang biasa dipakai balita belajar membaca, yang menyembur keluar dari mulut saya dan suami seperti layaknya air mancur. Sama sekali tidak ada satu katapun yang terangkai, hanya huruf a, b, c dst yang berlompatan keluar dari mulut kami dan kemudian berhamburan di lantai. Roh Kudus menunjukkan kepada saya bahwa perkataan kami tidak pernah sampai kepada lawan bicara. Setiap kata yang kami ucapkan, meski dengan keras dan berapi-api hanyalah sekumpulan huruf tanpa makna karena tidak disertai kasih. Telinga jasmani kami mendengar tetapi jiwa kami tidak.

Saya tersentak, menyadari betapa sia-sianya “komunikasi” kami. Meski kami telah berusaha keras mengusahakan lawan bicara mengerti jalan pikiran kami masing-masing tetapi karena kami tidak melibatkan kasih di dalam “diskusi” ini, komunikasi pun gagal dan bahkan berakhir dengan dada dan kepala panas serta nafas terengah-engah karena emosi dan kecapaian.
S
aya menuliskan teguran Roh Kudus ini di komputer saya dan suami memberi judul “Alphabet Soup.” Tanpa sadar kita sering menghidangkan sup ini kepada orang yang kita kasihi dengan cara mengabaikan unsur paling penting dalam komunikasi yaitu kasih. Ketika lawan bicara tidak mengerti atau menangkap pesan kita, alih-alih introspeksi kita malah menyalahkannya dengan cara menuduhnya tidak peduli, tidak mau mendengarkan nasehat kita, tidak mau ditegur dan hanya mau menang sendiri, dst. Padahal masalah utamanya bukan pada lawan bicara kita melainkan ada di kita. Kita tidak menggunakan bahasa kasih karena itu suara kita terdengar seperti “gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.” Kalau toh lawan bicara mau mengikuti perkataan kita, itu bukan karena ia setuju dengan pemikiran kita tetapi lebih supaya kita berhenti mengganggu kedamaian hatinya. Bukankah gong dan canang yang dipukul terus menerus mengakibatkan polusi suara yang membuat kita sumpek dan bahkan stress? “Ya sudah, terserah,” begitu biasanya yang kita ucapkan ketika sudah lelah berdebat.

Jadi jika kasih adalah satu-satunya unsur yang membuat bahasa bisa dimengerti oleh jiwa maka dunia tanpa kasih ibaratnya seperti sebuah pulau raksasa yang dihuni oleh suku-suku asing yang tidak saling memahami bahasanya. Banyak suara tetapi tidak ada makna. Manusia merasa berkomunikasi tetapi selalu tulalit alias tidak nyambung. Dalam lingkup kecil seperti keluarga, dampak dari ada atau tidak adanya kasih terlihat sangat jelas di dalam suasana kejiwaan anggota-anggotanya. Keluarga yang terdiri dari orang-orang yang saling mengasihi pastilah keluarga yang bahagia. Mereka tidak mengalami kesulitan yang berarti dalam berkomunikasi. Sementara dalam keluarga yang miskin kasih kesalah-pahaman dan pertengkaran pasti akan menjadi makanan sehari-hari. Semua bicara tetapi tak seorangpun mendengar. Banyak yang akhirnya berhenti mencoba. Merekapun tidak lagi berkomunikasi satu sama lain meski tinggal dalam satu rumah.

Saya yakin hubungan yang diwarnai oleh kesalah-pahaman (yang terus menerus), keegoisan, kemunafikan, pelecehen, pengkhianatan, dan segala bentuk perilaku yang memicu emosi negatif pastilah bukan hubungan yang dilandasi kasih. Masalahnya kita sudah terbiasa untuk menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya. Seorang pacar yang tega menyakiti pacarnya karena cemburu dengan tanpa rasa salah mengatakan, “Aku melakukan ini karena mencintaimu.” Tragisnya lagi, banyak orang sependapat dengannya. Akibatnya definisi kasih atau cinta menjadi rancu.

Segala sesuatu ada alat ukurannya, termasuk kasih. Kalau yang kita lakukan membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi orang yang kita cintai, berarti itu adalah kasih. Kalau hanya membawa kebaikan tetapi tanpa kebahagiaan atau sebaliknya, kebahagiaan tanpa kebaikan, berarti kasih itu telah tercampur oleh hal lain. Hal lain inilah yang perlu kita cermati. Ini penting karena hanya kasih yang murnilah yang bisa membuat saudara kita percaya.

Jadi jika seseorang berkata kepada saya, “Saya memang suka mengatur pacar saya tetapi itu semua saya lakukan karena saya sangat mencintainya,” maka saya akan bertanya kepadanya, “Berapa perbandingannya antara cinta dan obsesi kamu untuk mengatur dia? Manakah yang lebih dominan?” Pertanyaan ini penting supaya kita terbiasa untuk tidak sembarangan menggunakan kata cinta untuk menyembunyikan sikap-sikap kita yang sebetulnya justru tidak loving. Begitu juga untuk yang mendengarkan, supaya kita terbiasa untuk tidak terpesona oleh perkataan yang menutupi kebenaran.

Mari kita renungkan sekali lagi, jika kasih sampai bisa menyakiti, siapa yang salah? Kasihkah? Atau orang yang telah menyalah-gunakan kata indah ini untuk menyembunyikan ketidak-mampuannya dalam mengasihi? (S&A)

No comments: