04 February 2009

Boleh Ngga’ Sih Sering Ganti Pacar?

Seorang teman menanyakan, “Boleh ngga’ sih sering ganti pacar? Atau mestinya pacaran itu sekali saja terus menikah?” Saya balik bertanya kepada teman saya tersebut, “Menurut kamu, apa yang kamu lakukan semasa pacaran?” Teman saya heran dengan pertanyaan ini, mengira saya pura-pura tidak tahu. Saya katakan, “Soalnya untuk menjawab pertanyaan kamu, kita perlu menyamakan pengertian kita mengenai kata pacaran.”

Masa Pacaran

Salah satu tujuan dari pacaran adalah mempersiapkan diri untuk memasuki kehidupan perkawinan. Dari sini banyak yang kemudian mengartikan pacaran sebagai masa untuk mempelajari seluk beluk mengenai hidup dalam perkawinan yang diwujudkan dalam hal-hal praktis seperti memanggil pasangannya dengan sebutan “mama” dan “papa”, belajar menghayati tugas-tugas suami atau istri misalnya dengan cara si cewek datang ke tempat kost cowoknya membawakan makanan dan menyajikannya supaya bisa makan bersama-sama, merapikan tempat tidur dan membersihkan kamar dan si cowok mengantar pacarnya kemana dia mau pergi, membelikan kebutuhan khas perempuan seperti tas, sepatu, dan perhiasan. Ada juga yang mulai membuka bank account atau mengangsur rumah bersama, dsb.

Bahaya dari melihat pacaran secara demikian adalah sering tanpa disadari kebiasaan role playing ini menghasilkan ikatan emosi yang sangat kuat yang membuat mereka merasa sepertinya memang sudah suami-istri, apalagi jika hubungan itu juga disertai dengan keintiman fisik. Seandainya ternyata di tengah jalan ditemukan ketidak-cocokan, banyak yang merasa kesulitan untuk melepaskan diri dari keterikatan emosi tsb. Tidak jarang yang akhirnya memutuskan untuk jalan terus sambil berharap bahwa dengan berjalannya waktu ketidak-cocokan itu akan hilang dengan sendirinya. Tapi benarkah ketidak-cocokan itu akan pergi ketika mereka menikah?

Bisa dibayangkan pula betapa sakitnya seandainya ternyata hubungan tersebut tidak bisa diselamatkan dan mereka harus berpisah. Sering saya jumpai orang-orang yang dalam situasi ini berpikir bahwa bukan hanya hubungannya dengan pacar saja yang hancur tetapi hidup mereka secara keseluruhanpun ikut hancur – karier, cita-cita, kepercayaan diri, pengharapan akan masa depan dsb. Yang lebih parah lagi, ada yang imannya terhadap Tuhan-pun ikut hancur.

Jika kita memiliki definisi pacaran yang semacam ini saya rasa lebih baik kalau kita berhati-hati sebelum melangkah ke hubungan yang serius. Sebelum yakin bahwa kita memang sudah siap untuk membuat komitmen dengan seseorang, lebih baik hubungan dibatasi sebagai teman saja. Sambil menjajaki kemungkinan adanya hubungan yang lebih serius, persiapkan hati untuk menghadapi hal terburuk. “Apa yang akan aku lakukan jika hubungan ini tidak berjalan seperti yang kuinginkan.” Ini bukan sikap pesimis tetapi sikap berjaga-jaga. Orang yang mudah dihancurkan oleh kekecewaannya adalah orang yang terlalu banyak membangun harapan dan sedikit belajar menghadapi kegagalan.

Mengingat pentingnya menikah dengan orang yang tepat, saya lebih setuju menggunakan pacaran sebagai kesempatan untuk menemukan pasangan hidup. Masa pacaran kita lihat sebagai masa untuk mengenali, siapa sebetulnya kita dan apa yang kita ingini dan tidak ingini dari seorang pasangan. Dalam masa ini kita memperlakukan pacar bukan sebagai belahan hati tetapi lebih sebagai partner dalam pencarian jati diri. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat contoh di bawah ini.

Seorang teman waktu saya kuliah, sebut saja Vera, sudah 2 tahun pacaran dengan mahasiswa fakultas lain, Andy. Sebagai anak kost Andy sering terlibat masalah keuangan jadi ia sering meminjam uang kepada teman saya ini. Awalnya Vera tidak keberatan tetapi lama kelamaan dia merasa pacarnya mulai memanfaatkan kedekatan mereka untuk kepentingannya sendiri. Meskipun demikian teman saya ini tidak pernah mengatakan apa-apa kepada pacarnya karena berpikir suatu ketika Andy pasti menyadari kesalahannya. Ternyata bukannya sadar, Andy malah semakin menjadi. Secara bertahap dia mulai menggantungkan hidupnya kepada Vera. Dan yang menyedihkan, dengan naifnya teman saya inipun mau memenuhi segala kebutuhan pacarnya ini mulai dari biaya hidup sehari-hari, pakaian, sampai kalau pergi kemana-mana teman sayalah yang keluar uang. Waktu saya tanyakan alasannya melakukan itu Vera menjawab bahwa begitulah cara dia menunjukkan kasih sayangnya kepada pacarnya. “Kok kamu mau sih nglakuin itu?” tanya saya berusaha mengingatkan bahwa yang dia lakukan itu tidak akan membawa kebaikan di kemudian hari. Vera tidak suka dengan pertanyaan saya. Dengan nada tersinggung dia menjawab, ”Kalau kamu sayang sama seseorang kamu pasti mau dong berkorban buat orang itu.” Sayangnya ternyata Andy tidak menghargai pengorbanan itu. Ini terlihat dari sikapnya yang mulai menganggap enteng Vera. Ia tidak lagi hanya pinjam uang tetapi juga pinjam mobil, bukan hanya sehari tetapi sering sampai berhari-hari. Parahnya lagi, belakangan ketahuan bahwa ternyata mobil itu ia pakai untuk pacaran dengan perempuan lain.

Berlatih Terbuka

Di kejadian diatas, sepintas sepertinya Andy adalah si jahat dan Vera si baik. Tetapi kita juga bisa melihat bahwa dengan membiarkan Andy terus-menerus memanfaatkan dirinya, secara tidak dikatakan Vera mengijinkan hal itu terjadi. Saya selalu berprinsip, matikan api ketika masih kecil karena kalau sudah besar akan susah dipadamkan. Kalau api itu ada di dalam rumah saya, maka saya tidak akan mengharapkan orang lain memadamkannya atau api itu mati sendiri. Sayalah yang bertanggung jawab atas api tersebut.

Seandainya dari awal Vera membatasi langkah Andy, maka pacarnya ini tidak akan berani melangkah terlalu jauh. Masalahnya, kita sering merasa, “Ngga’ enak…”, “Aduh, aku ngga’ tega…,” “Aku ngga’ bisa nolak…” dsb. Sikap semacam ini akan mudah sekali mengundang orang untuk memanfaatkan kita. Kalau kita ingin sebuah hubungan yang sehat, mau tidak mau kita harus belajar terbuka. Dalam contoh diatas Vera bisa mengatakan, “Sorry ya, utangmu sudah banyak, aku takut kamu ngga’ bisa ngembaliin nanti.”, “Sayang, aku ngga’ boleh terus menerus bantuin kamu. Kamu kan laki-laki, nantinya mesti jadi kepala keluarga,” “Sayang, ayo kita cari cara supaya kamu bisa keluar dari masalah keuangan ini. Pasti ngga’ enak kan buat kamu kalau mesti tergantung sama orang lain terus,” dsb. Intinya, kita harus berani mengatakan kepada pacar kita jika melihat sesuatu yang menurut kita tidak benar. Saya tahu ini tidak gampang karena kita tidak ingin menyakiti hati pasangan dan beresiko kehilangan dia. Tetapi di lain pihak dengan bersikap terbuka kita memberi kesempatan pasangan kita untuk memperbaiki diri. Sementara jika kita tidak mengatakan apa-apa, pacar kita tidak akan tahu bahwa kita keberatan dengan sikapnya. Bukankah kitapun akhirnya ikut andil jika kelakuannya bertambah parah?

Survey membuktikan bahwa salah satu sebab utama perkawinan tidak bahagia adalah kegagalan komunikasi. Keterbukaan adalah syarat utama terciptanya komunikasi yang lancar. Karena itu penting sekali untuk belajar berani mengemukakan dan membela pendapat kita dengan cara yang benar. Masa pacaran adalah saat yang tepat untuk melakukan ini. Hubungan yang jujur dan terbuka adalah tempat yang aman dan subur untuk pembentukan karakter yang memungkinkan pasangan ini bisa bersama-sama tumbuh menjadi dewasa.

Dengan keterbukaan ini kitapun bisa menguji apakah pacar kita adalah pasangan yang cocok untuk dijadikan calon pendamping hidup. Jangan pilih orang yang takut dengan keterbukaan, yang jika diajak bicara terbuka malah menyalahkan dan menyerang kita, yang tidak mau introspeksi dan mudah tersinggung, yang tidak mau melihat bahwa tidak ada orang yang sempurna sehingga melakukan kesalahan itu wajar-wajar saja, yang tidak bisa melihat bahwa bukan kesalahannya yang penting tetapi lebih pada apakah kita mau belajar dari kesalahan tsb, dsb.

Ini semua akan kelihatan jika kita menggunakan masa pacaran untuk belajar terbuka sehingga kitapun tidak bingung lagi menentukan, "Apakah dia jodohku?"

"Tuhan, Beri Aku Tanda!"

Banyak orang meminta tanda dari Tuhan apakah seseorang memang jodohnya atau bukan. Jaman nenek moyang kita dulu dimana hubungan tidak melalui masa pacaran, sulit untuk mengetahui apakah seseorang akan cocok untuk menjadi pasangan hidup atau tidak. Orang juga tidak mau mengambil istri seperti mengambil kucing dalam karung – tidak tahu apa-apa mengenai orang tersebut. Karenanya nenek moyang kita mengembangkan ilmu untuk melihat kecocokan melalui tanggal lahir, perbintangan, shio, dsb yang keakuratannya sepertinya belum pernah benar-benar diuji.

Tetapi sekarang ini, dengan adanya sistem pacaran dulu sebelum menikah, kita jadi bisa memiliki banyak waktu untuk mengamati – bagaimana karakternya, kebiasaannya, caranya mengatasi masalah, caranya memperlakukan pasangan, caranya mengelola keuangan, caranya memandang perkawinan dan hubungan suami-istri, pemikirannya mengenai keluarga, dsb. Hal-hal ini adalah tanda yang bisa kita pakai untuk melihat apakah kita akan menjadikan orang tersebut pasangan hidup atau hanya sekedar pacar.

Cara memprediksi masa depan adalah dengan melihat kelakuan di masa sekarang dan masa lalu.

Ada orang yang pandai berpura-pura sehingga seolah-olah ia bisa tampak seperti orang yang tidak bercacat dan tidak bercela. Tetapi saya percaya bahwa pada dasarnya orang tidak bisa keluar dari dirinya terlalu lama. Terlebih ketika seseorang merasa aman dan nyaman, dia tidak akan merasa perlu lagi untuk berpura-pura. Untuk membuatnya merasa aman kita bisa menanyakan hal-hal yang sepertinya tidak berkaitan dengan dirinya misalnya mengenai teman kantornya (terutama teman lawan jenis yang dia tidak suka), mantan pacarnya, orang tuanya, dsb. Perhatikan baik-baik cara dia menceritakan mereka. Jika ia menceritakan dengan nada merendahkan, penuh kebencian, apalagi menyebut kekerasan fisik yang pernah ia lakukan terhadap mereka, berhati-hatilah karena ia memiliki potensi untuk melakukan hal yang sama terhadap anda. Begitu juga dengan menanyakan mengenai pekerjaannya, hubungannya dengan boss dan rekan-rekan kerjanya kita bisa melihat bagaimana seseorang menyikapi hidupnya - apakah ia senang mengeluh, menyalahkan orang lain atas kegagalannya, tidak punya fighting spirit, dsb. Akankah kita bawa sikap-sikap semacam ini lebih lanjut dalam hubungan perkawinan?

Dengan menggunakan masa pacaran untuk mengenali diri sendiri dan pasangan – apa yang kita inginkan dan tidak inginkan dari pasangan, menurut anda bolehkah kita berganti pacar jika ternyata tidak ada kecocokan antara dia dengan kita?

Saya percaya hidup perkawinan itu indah jika kita lalui dengan orang yang tepat. (A&S)

1 comment:

Anonymous said...

Pacaran itu sebenarnya memang diperlukan sebelum kita melangkah ke jenjang pertunangan dan pernikahan, namun alangkah baiknya kita berserah kepada TUHAN dan bertanya kepada TUHAN apakah memang dia jodoh yang TUHAN sediakan bagi kita. Kalo memang dia jodoh yang dari TUHAN, dia juga akan mendapatkan konfirmasi yang sama dari TUHAN meski caranya mungkin berlainan. Salah satu ciri-ciri jodoh dari TUHAN ialah dia akan membuat kita semakin berakar dan bertumbuh dalam TUHAN. -Rudyanto Lay