29 June 2008

Siapa Jodohku?

Seorang ibu ingin memberi ketiga anaknya masing-masing sebuah rumah. Ibu ini bertanya apakah mereka ingin mencari sendiri rumahnya atau menyerahkan kepadanya. Ketiga anak itupun berunding. Anak pertama memutuskan untuk mencari sendiri karena ia tidak yakin ibunya tahu seleranya. Sementara anak kedua dan ketiga menyerahkan kepada ibunya.
Anak Pertama
Pada suatu hari anak pertama dengan gembira datang kepada ibunya dengan pilihannya, sebuah rumah yang dianggapnya sangat cocok untuk dirinya. Ketika si anak membawa ibunya melihat rumah pilihannya itu, wanita yang sangat mengasihi anaknya ini sebetulnya kurang setuju. Ingin rasanya mengatakan bahwa rumah tersebut terlalu sederhana dan kelihatannya kurang begitu kuat bangunannya tetapi ia tidak ingin merendahkan pilihan anaknya. Karena itu secara tidak langsung beberapa kali dicobanya untuk mengajak anaknya melihat-lihat rumah yang lain. Anaknya menolak. Ia tetap menginginkan rumah itu. Melihat anaknya begitu tidak sabar ingin segera memiliki rumah tersebut, akhirnya ibu itupun membelinya. Anaknya sangat bersuka cita. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih sambil mencium pipi ibunya. Meski ada kekhawatiran bahwa anaknya akan kecewa di kemudian hari, hatinya terhibur oleh suka cita anaknya.
Anak Kedua
Melihat kakaknya sudah mendapatkan rumah, anak kedua bertanya kepada ibunya, “Rumahku mana, ma?” Ibu itu tersenyum. Belajar dari pengalaman dengan anak pertama, ibu itupun mengajak anaknya ke pameran perumahan. Disitu ada beberapa agen properti yang sedang memasarkan rumah mereka. Sang ibu menyuruh anaknya melihat-lihat.
“Pilihlah mana yang kamu suka,” katanya kepada anaknya.
“Yang mana saja, ma?” tanyanya meyakinkan diri.
“Iya. Jangan pikirkan harganya. Yang penting kamu cocok.”
Dengan suka cita anak itupun mulai memilih-milih, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada penjaga stand pameran, dan mempertimbangkan beberapa kemungkinan. Ibunya mengamati gerak-gerik anaknya dengan bangga. Ia yakin anaknya tahu yang ia inginkan. Tidak berapa lama anaknya menunjukkan sebuah gambar rumah.
“Aku mau beli yang ini, ma. Sebetulnya aku kurang begitu suka, sih. Halaman depan dan belakangnya kurang luas. Lagipula halaman samping tidak ada. Aku tidak suka rumah yang berdempetan dengan tetangga. Kalau ada kebakaran kan gampang merembet,” kata anaknya.
“Kalau begitu jangan kamu pilih. Kita bisa cari ke tempat lain,” kata ibunya.
“Ini yang paling bagus, ma. Rumah lain lebih payah. Lagipula aku maunya beli sekarang. Kakak sudah dapat rumah, masak aku belum,” rengek anak keduanya.
“Tapi kamu kan tidak suka. Ayo, kita cari ke tempat lain. Masih banyak rumah yang dijual. Lagipula pertimbanganmu mengenai bahaya kebakaran itu benar,” kata ibunya berusaha menyabarkan anaknya.
“Males nyari-nyari lagi, ma. Sudahlah, yang ini saja. Lagipula nanti mama capek kuajak kesana kemari. Mudah-mudahan saja kedepannya tidak pernah terjadi kebakaran,” kata anaknya.
“Kamu yakin?”
“Iya, ma.”
“Tidak menyesal nanti?”
“Enggaklah, ma.”
“Ya sudah. Kita beli yang ini,” kata ibunya.
Dengan bangga anak kedua ini mengajak adik dan kakaknya untuk melihat rumahnya. Ketika anak pertama sampai di rumah itu, sang mama melihat ada bersit kecewa di wajahnya. Ia menghampiri anaknya itu.
“Ada apa, nak? Kok mama lihat kamu kurang begitu suka dengan rumah ini?”
“Bukan, ma. Aku senang adik mendapatkan rumah ini tapi aku kecewa sama mama.”
“Mengapa?”
“Mama tidak pernah bilang kalau aku boleh beli rumah yang mana saja. Kalau tahu begitu aku pasti memilih rumah yang lebih besar dan di kawasan yang lebih elit,” katanya dengan nada marah.
Ibunya sedih mendengar itu. Kebahagiaan yang belum lama ini ia lihat di muka anaknya, sekarang telah hilang. Ibu yang lembut itu menghela nafas. Ia memahami kekecewaan anaknya. Dalam hati ia berkata, “Anakku, inilah yang tidak kuinginkan terjadi padamu. Waktu itu mama berusaha untuk merubah pandanganmu tetapi engkau bersikeras. Mama tidak mau memaksa karena mama menghargai pilihanmu, nak.”
Anak Ketiga
Sementara itu si bungsu terlihat sangat bahagia. Ia sudah merencanakan sesuatu di kepalanya.
“Bagaimana dengan kamu, nak? Kapan kita melihat-lihat calon rumahmu?”
“Ah, mama saja yang memilihkan. Pokoknya aku mau rumah yang dikelilingi halaman luas – tembok kiri kanan tidak nempel tetangga ya, ma. Selain menghindari bahaya kebakaran berantai, halaman yang luas memudahkan kita parkir mobil. Jadi kalau kakak-kakak datang membawa mobilnya, mereka tidak akan kesulitan mencari tempat parkir. Aku juga mau yang ada kolam renangnya. Mama tahu kan kita semua suka sekali berenang. Dengan adanya kolam renang di rumah, mama dan kakak-kakak pasti sering kemari jadi kita bisa sering berkumpul?”
Sang ibu tersenyum mendengar alasan si bungsu. Ia bangga bahwa anaknya tidak hanya memikirkan diri sendiri.
“Supaya gampang buat mama, intinya begini, ma. Rumahku nanti akan kujadikan tempat kita semua berkumpul – anak-anak dan cucu-cucu mama. Kira-kira mama tahu kan berapa ukuran rumah itu, designnya seperti apa, lokasinya dimana, apa saja yang harus ada di dalamnya… Pokoknya begitu, ma.”
Ibunya sekali lagi tersenyum. Ia sudah mendapat gambaran kira-kira rumah seperti apa yang diinginkan anaknya.
Tak lama kemudian ia membawa anaknya untuk melihat rumah yang akan ia beli. Si anak tercengang dan hampir tidak percaya ketika melihat bangunan di depannya, apalagi ketika ia masuk. Sempurna! Itulah kata yang ada di kepalanya.
“Mama mau beli rumah ini untukku?” Ibunya mengangguk sambil tersenyum.
“Apa tidak terlalu mahal, ma?” Ibunya menggeleng bahagia, tahu bahwa anaknya suka dengan pilihannya.
“Mama serius?” Sekali lagi mamanya mengangguk. Kali ini lebih mantap.
Si bungsu hampir tidak percaya bahwa ibunya tidak keberatan membelikannya rumah semewah ini. Ia sangat terharu. Tak kuasa menahan kebahagiannya si bungsu bersimpuh di kaki ibunya dan menangis sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih. Ia tidak menyangka begitu besar kasih ibunya kepada anak-anaknya. Ia memberikan hanya yang terbaik untuk mereka.
Ketika melihat rumah si bungsu, kedua kakaknya merasa iri. Mereka minta diberi kesempatan sekali lagi. Dengan penuh pengertian ibunya menjawab,
“Kalau mama mengabulkan permintaanmu, maka bukan kamu yang kubahagiakan melainkan hawa nafsumu. Tetapi kalau kamu mau, kamu boleh merenovasi rumah itu,” katanya menghibur.
“Tapi kami tidak bisa merubah ukuran rumah kami,” kata mereka serempak.
“Memang betul, tapi paling tidak kamu tetap bisa menjadikan rumah kamu lebih baik sehingga kamu nyaman tinggal di dalamnya,” kata ibunya.

***

Cerita diatas adalah sebuah ilustrasi mengenai jodoh. Sang ibu menggambarkan Allah dan pasangan hidup kita ibaratkan sebagai rumah. Anak pertama mewakili kita yang tidak melibatkan Allah dan mencari sendiri calon pendamping kita. Anak kedua adalah mereka yang melibatkan Allah tetapi tidak sabar menjalani proses untuk mendapatkan pasangan yang terbaik. Sementara si bungsu adalah mereka yang bukan hanya mau belajar dari pengalaman orang lain tetapi juga melibatkan Allah sepenuhnya untuk mendapatkan hanya yang terbaik.
Kita semua pasti ingin medapatkan seperti yang didapatkan si bungsu, pasangan hidup yang sempurna. Masalahnya, berapa dari kita yang percaya bahwa itu mungkin? Kepopuleran ungkapan “Nobody’s perfect” mencerminkan betapa mengharapkan pasangan yang sempurna itu adalah sia-sia karena tidak ada seorangpun yang sempurna. Benarkah demikian? Memang tidak ada orang yang sempurna bagi semua orang, yang memenuhi kriteria gambaran pasangan yang diidamkan semua orang. Tuhan memang tidak pernah menjanjikan seseorang yang cocok bagi semua orang, tetapi ia menjanjikan jodoh bagi masing-masing kita, orang yang dirancang khusus untuk kita, karena itu sempurna hanya untuk kita. Bagi orang lain mungkin ia masih banyak kekurangannya atau bahkan sama sekali tidak masuk daftar orang yang ingin mereka didekati tetapi bagi kita ia adalah orang yang sempurna.

Siapa jodohku?

Secara iseng saya sering menanyakan teman-teman yang masih single, “Siapa jodoh kamu?” jawabannya bermacam-macam. Ada yang menjawab, “Jodoh saya itu nanti harus yang begini dan begitu ….” Dengan kata lain mereka berpikir bahwa jodoh itu kita yang menentukan. Mereka ini adalah seperti anak pertama yang kemudian kecewa dengan pilihannya dan menginginkan milik orang lain. Dengan marah mengatakan, “Mengapa saya tidak pernah tahu kalau ada orang lain yang bisa mengasihi saya dengan lebih baik?” Mereka ini adalah orang-orang yang ketika nantinya kehidupan perkawinannya tidak bahagia akan menyalahkan pasangannya; dia terlalu begini, dia kurang begitu, dia kebanyakan ini, dsb.”
Jawaban diatas baru menunjukkan tipe pasangan yang kita idamkan. Sementara itu semua orang percaya bahwa jodoh itu berasal dari Tuhan. Artinya, kita mengimani bahwa Tuhanlah yang memilihkan pasangan terbaik kita. Jadi kembali ke pertanyaan semula, siapa jodoh kita?
Sama halnya dengan tujuan hidup yang selalu kita pertanyakan dan cari, begitu jugalah dengan jodoh kita. Kita tidak serta merta menemukan tujuan hidup kita tetapi melalui proses trials and errors yang berulang-ulang. Kadang kita begitu yakin bahwa inilah tujuan hidup kita tetapi ternyata Tuhan menginginkan lain. Seperti Pak Dwi, seorang calon pilot yang terbakar dalam kecelakaan pesawat ketika hendak menyelesaikan penerbangan terakhirnya sebelum ia resmi dinyatakan sebagai pilot. Pada waktu itu ia begitu yakin bahwa menjadi pilot adalah tujuan hidupnya. Keyakinan itu ia tunjukkan melalui prestasinya di kampus. Tetapi ternyata rencana Tuhan berbeda dengan rencananya.
Begitu juga mengenai jodoh. Kita sering mendengar kisah sedih dialami oleh pasangan yang sudah siap menikah. Ketika semua seakan sudah pasti tiba-tiba Tuhan merubah skenario tanpa persetujuan kita. Bagi saya ini menunjukkan bahwa jodoh memang Tuhan yang menentukan. Oleh karena itu lebih baik kita tetap berkonsultasi dengan-Nya sebelum menentukan pilihan. Artinya, kita harus rajin untuk “dengar-dengaran” dengan Tuhan. Kalau Big Boss memberi signal tidak setuju, lebih baik kita dengarkan. Saya yakin Ia akan membimbing kita untuk menemukan seseorang yang memang dirancang khusus untuk kita. (S&A)

1 comment:

Anonymous said...

makasih... dapat memberikan gambaran...